PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah yang telah menetapkan Islam sebagai agama ummat
manusia, menjadikannya agama yang sempurna dan memerintahkan agar tetap
berpegeng teguh kepadanya hingga datangnya kematian. Selawat dan salam semoga
tetap terlimpahkan kepada hambah dan Rasulnya, Muhammad saw, keluarganya dan
Sahabat-sahabatnya.
Islam adalah
agama yang komleks dan dinamis, segala hal semua sudah diatur sedemikian rupa,
salah satu aturan dalam Islam tersebut telah termaktub dalam ilmu Fiqh
Muamalah. Didalamnya mencakup seluruh sisi kehidupan individu dan masyarakat,
baik perekonomian, sosial kemasyarakatan, politik bernegara, serta lainnya.
Para ulama’ mujtahid dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan yang setelah
mereka, tidak henti-hentinya mempelajari semua yang dihadapi kehidupan manusia
dari fenomena dan permasalahan tersebut, di atas dasar usul syariat dan
kaidah-kaidahnya. Yang bertujuan untuk menjelaskan dan menjawab hukum-hukum permasalahan
tersebut supaya dapat dimanfaatkan pada masa-masanya dan setelahnya.
Berangkat dari
sini, sudah menjadi kewajiban setiap muslim dalam kehidupannya untuk mengenal dan
mengamalkan hukum-hukum syariat terkait dengan amalan tersebut. Dikarenakan luasnya pembahasan mengenai
muamalah ini, maka perlu kiranya pemakalah membatasi masalah yang akan
disampaikan nantinya, secara garis besar batasan masalah pemakalah seputar
definisi atau pengertian, kaidah-kaidah, jenis-jenis, pembagian dan ruang
lingkup fiqh muamalah.
A. Definisi Muamalah
Secara etimologi muamalah berasal dari
kata al-Amal yang merupakan istilah
yang digunakan untuk mengungkpkan semua perbuatan yang dikehendaki mukallaf. muamalah mengikuti pola mufaalatan yang bermakna bergaul (al-Taamul). Kata ini menggambarkan suatu
aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau beberapa orang
dalam memenuhi kebutuhan masing-masing[1].
Secara istilah, Muamalah adalah
segala aturan agama yang mengatur hubungan antara sesama manusia, dan antara
manusia dan alam sekitarnya,tanpa memandang agama atau asal usul kehidupannya.
Aturan agama yang mengatur hubungan antar sesama manusia, dapat kita
temukan dalam hukum Islam tentang perkawinan, perwalian, warisan, wasiat, hibah
perdagangan, perburuan, perkoperasian dll. Aturan agama yang mengatur hubungan
antara manusia dan lingkungannya dapat kita temukan antara lain dalam hukum
Islam tentang makanan, minuman, mata pencaharian, dan cara memperoleh rizki
dengan cara yang dihalalkan atau yang diharamkan.
Aturan agama yang mengatur hubunagn antara
manusia dengan alam sekitarnya dapat kita jumpai seperti larangan mengganggu,
merusak dan membinasakan hewan, tumbuhan atau yang lainnya tanpa adanya suatu
alasan yang dibenarkan oleh agama, perintah kepada manusia agar mengadakan
penelitian dan pemikiran tentang keadaan alam semesta.
Dari uraian diatas telah
kita ketahui bahwa muamalah mempunyai ruang lingkup yang luas, yang meliputi
segala aspek, baik dari bidang agama, politik, ekonomi, pendidikan serta
sosial-budaya[2].
Firman Allah dalam surat an Nahl ayat 89:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدىً وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
Artinya: “ Kami turunkan
kepadamu al Qur’an untuk menerangkan segala sesuatu, untuk petunjuk dan rahmat serta berita gembira
bagi orang-orang islam.”(QS.An-Nahl: 89)
Dalam ilmu ekonomi Islam,
Muamalah memiliki makna hukum yang berkaitan dengan harta, hak
milik, perjanjian, jual-beli, utang-piutang, sewa-menyewa, dan pinjam-meminjam.
Juga hukum yang mengatur keuangan serta segala hal yang merupakan hubungan
manusia dengan sesamanya, baik secara individu maupun masyarakat. Tujuannya
adalah agar tercapai suatu kehidupan yang tenteram, damai, dan bahagia serta
sejahtera[3].
B.
Kaidah-Kaidah
Dalam Fiqh Muamalah
Pada dasarnya, syariat Islam mengandung ketentuan-ketentuan atau
peraturan-peraturan tentang amaliah
atau perbuatan manusia. Perbuatan manusia secara garis besar ada dua, yaitu
perbuatan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah Swt. yang disebut ibadah dan hubungan manusia dengan
sesamanya dalam pergaulan hidup bermasyarakat yang disebut muamalah.
Ibadah wajib berpedoman pada sumber ajaran
al-Qur’an dan al-Sunnah, yaitu harus ada contoh (tatacara dan praktek) dari Nabi
Muhammad saw. Konsep ibadah ini berdasarkan kepada mamnu’ (dilarang atau haram). Ibadah
ini antara lain meliputi Zakat, Puasa, Shalat dan Haji. Sedangkan masalah
muamalah (hubungan sesama manusia dan hubungan dengan lingkungan),
masalah-masalah dunia, seperti makan dan minum, pendidikan, organisasi, dan
ilmu pengetahuandan teknologi, berdasarkan pada prinsip boleh (jaiz) selama tidak ada larangan yang
tegas dari Allah dan Rasul-Nya. Berkaitan dengan hal ini (muamalah), Nabi Muhammad saw mengatakan:
“Kalian lebih mengetahui tentang dunia kalian”.
Kebanyakan ahli fiqh telah
menetapkan kaidah bahwa “hukum asal
segala sesuatu dalam bidang material
dan hubungan antara sesama manusia (muamalah) adalah boleh, sampai adanya dalil
yang menunjukan bahwa sesuatu tersebut dilarang”. Ini berarti bahwa semua
hal yang berhubungan dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik larangan
maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), maka
hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.
Sebagi ahli fiqh, al-Syatbi secara
filosofis telah merumuskan kaidah bahwa “asal
dalam persoalan ibadah bagi mukallaf adalah ta’abbud tanpa perlu melihat kepada
nilai atau hikmah, sedangkan asal dalam persoalan muamalah adalah melihat
kepada nilai atau hikmah”[4]
C.
Jenis-Jenis Muamalah
1. Jenis
Muamalah yang hukumnya ditunjuk langsung oleh Nash dengan memberikan batasan tertentu. Diantara persoalan
tersebut adalah persoalan warisan dan keharaman riba. Hokum-hukum seperti ini
bersifat permanen dan tidak dapat diubah dan tidak menerima perubahan.
2.
Jenis muamalah yang tidak ditunjuk langsung oleh Nash, tetapi diserahkan kepada hasil ijtihad para ulama, sesuai
dengan kreasi para ahli dalam rangka memenuhi kebutuhan umat manusia sepanjang
tempat dan zaman, serta sesuai pula dengan situasi dan kondisi masyarakat itu
sendiri. Sebagai contoh adalah Ba’I al-Mu’athah (jual beli dengan saling
menyerahkan uang dan mengambil barang tanpa dibarengi dengan ijab dan qabul)[5].
D. Pembagian Fiqh Muamalah
Menurut Ibn
Abidin, fiqih muamalah dalam arti luas dibagi menjadi lima bagian:
1. Muawadhah Maliyah (Hukum
Perbendaan)
2. Munakahat (Hukum Perkawinan)
3. Muhasanat (Hukum Acara)
4. Amanat dan ‘Aryah (Hukum Pinjaman)
5. Tirkah (Hukum Peninggalan)
Dari
pembagian diatas, yang merupakan disiplin ilmu tersendiri adalah munakahat
dan tirkah. Sedangkan menurut Al-Fikri dalam kitab Al-Muamalah
Al-Madiyah wa Al-Adabiyah membagi Fiqh Muamalah menjadi dua bagian:
1. Al-Muamalah Al-Madiyah
Al-Muamalah
Al-Madiyah adalah muamalah yang mengakaji
segi objeknya, yakni benda. Sebagian ulama berpendapat bahwa Al-Muamalah
Al-Madiyah bersifat kebendaan, yakni benda yang halal, haram, dan syubhat untuk
dimiliki, diperjual belikan, atau diusahakan, benda yang menimbulkan kemadharatan
dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, dll. Semua aktivitas yang berkaitan
dengan benda, seperti al- bai’ (jual beli) tidak hanya ditujukan untuk
memperoleh keuntungan semata, tetapi jauh lebih dari itu, yakni untuk
memperoloh ridha Allah SWT. Jadi kita harus menuruti tata cara jual beli yang
telah ditentukan oleh syara’.
Al-Muamalah
Al-Madiyah mencakup Jual beli (Al-bai’ at-Tijarah), Gadai (rahn),
Jaminan/ tanggungan (kafalah), Pemindahan
utang (hiwalah), Jatuh bangkit (tafjis), Batas bertindak (al-hajru), Perseroan atau perkongsian (asy-syirkah), Perseroan harta dan tenaga
(al-mudharabah), Sewa menyewa tanah (al-musaqah al-mukhabarah), Upah (ujral al-amah), Gugatan (asy-syuf’ah), Sayembara (al-ji’alah), Pembagian kekayaan bersama
(al-qisamah), Pemberian (al-hibbah), Pembebasan (al-ibra’), damai (ash-shulhu),
beberapa masalah mu’ashirah (mukhadisah),
seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah lainnnya[6]
Pembagian hasil pertanian (musaqah), Kerjasama
dalam perdagangan (muzara’ah), pembelian
barang lewat pemesanan (salam/salaf), Pihak penyandang dana meminjamkan uang
kepada nasabah/ Pembari modal (qiradh),
Pinjaman barang (‘ariyah), Sewa
menyewa (al-ijarah), Penitipan barang
(wadi’ah).
Peluang ijtihad dalam aspek tersebut
diatas harus tetap terbuka, agar hukum Islam senantiasa dapat memberi kejelasan
normatif kepada masyarakat sebagai pelaku-pelaku ekonomi[7].
2. Al-Muamalah Al-Adabiyah
Al-Muamalah
Al-Adabiyah adalah muamalah ditinjau dari
segi cara tukar-menukar benda, yang sumbernya dari pancaindra manusia,
sedangkan unsur-unsur penegaknya adalah hak dan kewajiban, seperti jujur,
hasut, iri, dendam, dll. Al-Muamalah
Al-Adabiyah adalah aturan-aturan Allah yang ditinjau dari segi subjeknya
(pelakunya) yang berkisar pada keridhaan kedua pihak yang melangsungkan akad,
ijab kabul, dusta, dll.
Al-Muamalah Al-Adabiyah. Hal-hal yang termasuk Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah
ijab kabul, saling meridhai, tidak ada
keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang,
penipuan, pemalsuan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang
ada kaitannya dengan peredaran harta[8].
E. Ruang Lingkup Fiqh Muamalah
Ruang lingkup fiqih muamalah adalah seluruh kegiatan muamalah manusia
berdasarkan hokum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi
perintah atau larangan seperti wajib,sunnah,haram,makruh dan mubah.hokum-hukum
fiqih terdiri dari hokum-hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya
dengan hubungan vertical antara manusia dengan Allah dan hubungan horizontal
antara manusia dengan manusia lainnya.
Ruang lingkup fiqih muamalah
mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti social,ekonomi,politik hokum
dan sebagainya. Aspek ekonomi dalam kajian fiqih sering disebut dalam bahasa
arab dengan istilah iqtishady, yang artinya adalah suatu cara bagaimana manusia
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuat pilihan di antara berbagai
pemakaian atas alat pemuas kebutuhan yang ada, sehingga kebutuhan manusia yang
tidak terbatas dapat dipenuhi oleh alat pemuas kebutuhan yang terbatas. Ruang
linkup fiqh muamalah terbagi menjadi dua Yaitu:
Ruang lingkup fiqh muamalah yang bersifat adabiyah
ialah ijab dan kabul, saling meridahi, tidak ada keterpaksaan dari salh satu
pihak, hak dan kawajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan,
dan segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dengan
peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.
Ruang
lingkup pembahasan adiniyah ialah masalh jual beli (al- bai’
al-tijarah), gadai (al-rahn), jaminan dan tanggungan ( kafalan
dan dlaman ), pemindahn utang ( hiwalah ), jatuh bangkrut (taflis), batas tindakan (al-harju), perseroan dan perkongsian (al-syirkah), perseroan harta dan tenaga
(al-mudharabah),
sewa menyewa (al-ijarah), pemberian
hak guna pakai (al- ariyah), barang titipan (al-wadlit’ah), barang temuan (al- luqathah), garapan tanah (al-mujara’ah) sewa menyewa tanah
(al-mukhabarah), upah (ujrat al’amal), gugatan (al-syuf’ah), syembara (al-ji’alah),
pembagian kekayan bersama (al-qismah),
pemberian (al-hibbah), pembebasan (al-ibra), damai (al-shulhu), dan ditambah dengan beberapa masalh mu’ashirah (muhaditsah), seperti masalah bungah bank, asuransi, kredit, dan
masalah masalh baru lainnya[9].
Penutup
Sebagai kesimpulan, Kata Muamalah
berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi sama dan semakna dengan
al-mufa’alah (saling berbuat). Kata ini menggambarkan suatu aktivitas yang
dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi
kebutuhan masing-masing. Sedangkan Fiqh Muamalat secara terminology
didefinisikan sebagai hokum-hukum yang berkaitan dengan tindakan hokum manusia
dalam persoalan keduniaan.
Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh,
kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Sebuah kaidah menyebutkan “Asal dari
segala sesuatu adalah halal, sampai ada dalil yang mengharamkannay”. Dengan demikian, muamalah berdsarkan hukumnya
terbagi menjadi dua yaitu: Jenis Muamalah yang hukumnya ditunjuk langsung oleh
Nash dengan memberikan batasan tertentu, seperti warisan dan keharaman riba dan
Jenis muamalah yang tidak ditunjuk langsung oleh Nash, tetapi diserahkan kepada
hasil ijtihad para ulama seperti Ba’I al-Mu’athah.
Menurut Ibn
Abidin, fiqih muamalah dalam arti luas dibagi menjadi lima bagian yaitu: Muawadhah Maliyah (Hukum Perbendaan), Munakahat (Hukum Perkawinan), Muhasanat (Hukum Acara), Amanat dan ‘Aryah (Hukum Pinjaman), Tirkah (Hukum Peninggalan).
Sedangkan menurut Al-Fikri dalam kitab Al-Muamalah Al-Madiyah wa Al-Adabiyah
membagi Fiqh Muamalah menjadi dua bagian: pertama Al-Muamalah Al-Madiyah dan yang kedua adalah Al-Muamalah
Al-Adabiyah.
Ruang lingkup
fiqih muamalah adalah seluruh kegiatan muamalah manusia berdasarkan hokum-hukum
islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan
seperti wajib,sunnah,haram,makruh dan mubah. hokum-hukum fiqih terdiri dari
hokum-hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan
vertikal antara manusia dengan Allah dan hubungan horizontzl antara manusia
dengan manusia lainnya. Ruang linkup fiqh muamalah terdiri dari dua yaitu fiqh
muamalah yang bersifat adabiyah dan adiniyah.
Daftar Pustaka
1.
Masjfuk Zuhdi, Studi Islam jilid III: Muamalah,
Jakarta : Rajawali, 1988.
2.
M. Yazid Afandi, M. Ag., Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah,
Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009.
3.
Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka
Setia, 2001.
4.
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993.
5.
Dr.H.Hendi suhendi, M.Si, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
7.
www.yosiea.com/religious/29/12/2011.
8.
www.muamalat kontemporer.multiply.com/29/12/2011.
[1]
www.manshurzikri.wordpress.com/29/12/2011.
[2] Masjfuk Zuhdi, Studi
Islam jilid III: Muamalah, Jakarta : Rajawali, 1988, hal 2-3.
[3] M. Yazid Afandi, M. Ag., Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam
Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2009, hal 2.
[4] www.yosiea.com/religious/29/12/2011.
[5] www.muamalat
kontemporer.multiply.com/29/12/2011.
[6] Rachmad Syafei, Fiqih
Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hal 18.
[7] Dede Rosyada, Hukum
Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993, hal 75.
[8] Rachmad Syafei, Fiqih
Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hal 17.
0 komentar:
Posting Komentar