Pages

Rabu, 12 Desember 2012

Fiqh Muamalah



PENDAHULUAN

      Segala puji bagi Allah yang telah menetapkan Islam sebagai agama ummat manusia, menjadikannya agama yang sempurna dan memerintahkan agar tetap berpegeng teguh kepadanya hingga datangnya kematian. Selawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada hambah dan Rasulnya, Muhammad saw, keluarganya dan Sahabat-sahabatnya.
      Islam adalah agama yang komleks dan dinamis, segala hal semua sudah diatur sedemikian rupa, salah satu aturan dalam Islam tersebut telah termaktub dalam ilmu Fiqh Muamalah. Didalamnya mencakup seluruh sisi kehidupan individu dan masyarakat, baik perekonomian, sosial kemasyarakatan, politik bernegara, serta lainnya. Para ulama’ mujtahid dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan yang setelah mereka, tidak henti-hentinya mempelajari semua yang dihadapi kehidupan manusia dari fenomena dan permasalahan tersebut, di atas dasar usul syariat dan kaidah-kaidahnya. Yang bertujuan untuk menjelaskan dan menjawab hukum-hukum permasalahan tersebut supaya dapat dimanfaatkan pada masa-masanya dan setelahnya.
      Berangkat dari sini, sudah menjadi kewajiban setiap muslim dalam kehidupannya untuk mengenal dan mengamalkan hukum-hukum syariat terkait dengan amalan tersebut.      Dikarenakan luasnya pembahasan mengenai muamalah ini, maka perlu kiranya pemakalah membatasi masalah yang akan disampaikan nantinya, secara garis besar batasan masalah pemakalah seputar definisi atau pengertian, kaidah-kaidah, jenis-jenis, pembagian dan ruang lingkup fiqh muamalah.



A.     Definisi Muamalah
         Secara etimologi muamalah berasal dari kata al-Amal yang merupakan istilah yang digunakan untuk mengungkpkan semua perbuatan yang dikehendaki mukallaf. muamalah mengikuti pola mufaalatan yang bermakna bergaul (al-Taamul). Kata ini menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing[1].
                  Secara istilah, Muamalah adalah segala aturan agama yang mengatur hubungan antara sesama manusia, dan antara manusia dan alam sekitarnya,tanpa memandang agama atau asal usul kehidupannya. Aturan agama yang mengatur hubungan antar sesama manusia,  dapat kita temukan dalam hukum Islam tentang perkawinan, perwalian, warisan, wasiat, hibah perdagangan, perburuan, perkoperasian dll. Aturan agama yang mengatur hubungan antara manusia dan lingkungannya dapat kita temukan antara lain dalam hukum Islam tentang makanan, minuman, mata pencaharian, dan cara memperoleh rizki dengan cara yang dihalalkan atau yang diharamkan.
                  Aturan agama yang mengatur hubunagn antara manusia dengan alam sekitarnya dapat kita jumpai seperti larangan mengganggu, merusak dan membinasakan hewan, tumbuhan atau yang lainnya tanpa adanya suatu alasan yang dibenarkan oleh agama, perintah kepada manusia agar mengadakan penelitian dan pemikiran tentang keadaan alam semesta.
                   Dari uraian diatas telah kita ketahui bahwa muamalah mempunyai ruang lingkup yang luas, yang meliputi segala aspek, baik dari bidang agama, politik, ekonomi, pendidikan serta sosial-budaya[2].  Firman Allah dalam surat an Nahl ayat 89:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدىً وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
            Artinya: “ Kami turunkan kepadamu al Qur’an untuk menerangkan segala sesuatu, untuk     petunjuk dan rahmat serta berita gembira bagi orang-orang islam.”(QS.An-Nahl: 89)
                  Dalam ilmu ekonomi Islam, Muamalah  memiliki makna hukum yang berkaitan  dengan harta, hak milik, perjanjian, jual-beli, utang-piutang, sewa-menyewa, dan pinjam-meminjam. Juga hukum yang mengatur keuangan serta segala hal yang merupakan hubungan manusia dengan sesamanya, baik secara individu maupun masyarakat. Tujuannya adalah agar tercapai suatu kehidupan yang tenteram, damai, dan bahagia serta sejahtera[3].


B.       Kaidah-Kaidah Dalam Fiqh Muamalah
      Pada dasarnya, syariat Islam mengandung ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan tentang amaliah atau perbuatan manusia. Perbuatan manusia secara garis besar ada dua, yaitu perbuatan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah Swt. yang disebut ibadah dan hubungan manusia dengan sesamanya dalam pergaulan hidup bermasyarakat yang disebut muamalah.

      Ibadah wajib berpedoman pada sumber ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, yaitu harus ada contoh (tatacara dan praktek) dari Nabi Muhammad saw. Konsep ibadah ini berdasarkan kepada mamnu’ (dilarang atau haram). Ibadah ini antara lain meliputi Zakat, Puasa, Shalat dan Haji. Sedangkan masalah muamalah (hubungan sesama manusia dan hubungan dengan lingkungan), masalah-masalah dunia, seperti makan dan minum, pendidikan, organisasi, dan ilmu pengetahuandan teknologi, berdasarkan pada prinsip boleh (jaiz) selama tidak ada larangan yang tegas dari Allah dan Rasul-Nya. Berkaitan dengan hal ini (muamalah), Nabi Muhammad saw mengatakan:
Kalian lebih mengetahui tentang dunia kalian”.

      Kebanyakan ahli fiqh telah menetapkan kaidah bahwa “hukum asal segala sesuatu dalam bidang material dan hubungan antara sesama manusia (muamalah) adalah boleh, sampai adanya dalil yang menunjukan bahwa sesuatu tersebut dilarang”. Ini berarti bahwa semua hal yang berhubungan dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik larangan maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.

      Sebagi ahli fiqh, al-Syatbi secara filosofis telah merumuskan kaidah bahwa “asal dalam persoalan ibadah bagi mukallaf adalah ta’abbud tanpa perlu melihat kepada nilai atau hikmah, sedangkan asal dalam persoalan muamalah adalah melihat kepada nilai atau hikmah”[4]

C.      Jenis-Jenis Muamalah
1.      Jenis Muamalah yang hukumnya ditunjuk langsung oleh Nash dengan memberikan batasan tertentu. Diantara persoalan tersebut adalah persoalan warisan dan keharaman riba. Hokum-hukum seperti ini bersifat permanen dan tidak dapat diubah dan tidak menerima perubahan.

2.      Jenis muamalah yang tidak ditunjuk langsung oleh Nash, tetapi diserahkan kepada hasil ijtihad para ulama, sesuai dengan kreasi para ahli dalam rangka memenuhi kebutuhan umat manusia sepanjang tempat dan zaman, serta sesuai pula dengan situasi dan kondisi masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh adalah Ba’I al-Mu’athah (jual beli dengan saling menyerahkan uang dan mengambil barang tanpa dibarengi dengan ijab dan qabul)[5].

D.     Pembagian Fiqh Muamalah
      Menurut Ibn Abidin, fiqih muamalah dalam arti luas dibagi menjadi lima bagian:
1.      Muawadhah Maliyah (Hukum Perbendaan)
2.      Munakahat (Hukum Perkawinan)
3.      Muhasanat (Hukum Acara)
4.      Amanat dan ‘Aryah (Hukum Pinjaman)
5.      Tirkah (Hukum Peninggalan)
        Dari pembagian diatas, yang merupakan disiplin ilmu tersendiri adalah munakahat dan tirkah. Sedangkan menurut Al-Fikri dalam kitab Al-Muamalah Al-Madiyah wa Al-Adabiyah membagi Fiqh Muamalah menjadi dua bagian:

1.      Al-Muamalah Al-Madiyah
      Al-Muamalah Al-Madiyah adalah muamalah yang mengakaji segi objeknya, yakni benda. Sebagian ulama berpendapat bahwa Al-Muamalah Al-Madiyah bersifat kebendaan, yakni benda yang halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki, diperjual belikan, atau diusahakan, benda yang menimbulkan kemadharatan dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, dll. Semua aktivitas yang berkaitan dengan benda, seperti al- bai’ (jual beli) tidak hanya ditujukan untuk memperoleh keuntungan semata, tetapi jauh lebih dari itu, yakni untuk memperoloh ridha Allah SWT. Jadi kita harus menuruti tata cara jual beli yang telah ditentukan oleh syara’.
      Al-Muamalah Al-Madiyah  mencakup Jual beli (Al-bai’ at-Tijarah), Gadai (rahn), Jaminan/ tanggungan (kafalah), Pemindahan utang (hiwalah), Jatuh bangkit (tafjis), Batas bertindak (al-hajru), Perseroan atau perkongsian (asy-syirkah), Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah), Sewa menyewa tanah (al-musaqah al-mukhabarah), Upah (ujral al-amah), Gugatan (asy-syuf’ah), Sayembara (al-ji’alah), Pembagian kekayaan bersama (al-qisamah), Pemberian (al-hibbah), Pembebasan (al-ibra’), damai (ash-shulhu), beberapa masalah mu’ashirah (mukhadisah), seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah lainnnya[6] Pembagian hasil pertanian (musaqah), Kerjasama dalam perdagangan (muzara’ah), pembelian barang lewat pemesanan (salam/salaf), Pihak penyandang dana meminjamkan uang kepada nasabah/ Pembari modal (qiradh), Pinjaman barang (‘ariyah), Sewa menyewa (al-ijarah), Penitipan barang (wadi’ah).
                 Peluang ijtihad dalam aspek tersebut diatas harus tetap terbuka, agar hukum Islam senantiasa dapat memberi kejelasan normatif kepada masyarakat sebagai pelaku-pelaku ekonomi[7].
2.      Al-Muamalah Al-Adabiyah
      Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah muamalah ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda, yang sumbernya dari pancaindra manusia, sedangkan unsur-unsur penegaknya adalah hak dan kewajiban, seperti jujur, hasut, iri, dendam, dll. Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah aturan-aturan Allah yang ditinjau dari segi subjeknya (pelakunya) yang berkisar pada keridhaan kedua pihak yang melangsungkan akad, ijab kabul, dusta, dll.
            Al-Muamalah Al-Adabiyah. Hal-hal yang termasuk Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah ijab kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta[8].
E.      Ruang Lingkup Fiqh Muamalah
      Ruang lingkup fiqih muamalah adalah seluruh kegiatan muamalah manusia berdasarkan hokum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan seperti wajib,sunnah,haram,makruh dan mubah.hokum-hukum fiqih terdiri dari hokum-hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertical antara manusia dengan Allah dan hubungan horizontal antara  manusia dengan manusia lainnya.
                  Ruang lingkup fiqih muamalah mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti social,ekonomi,politik hokum dan sebagainya. Aspek ekonomi dalam kajian fiqih sering disebut dalam bahasa arab dengan istilah iqtishady, yang artinya adalah suatu cara bagaimana manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuat pilihan di antara berbagai pemakaian atas alat pemuas kebutuhan yang ada, sehingga kebutuhan manusia yang tidak terbatas dapat dipenuhi oleh alat pemuas kebutuhan yang terbatas. Ruang linkup fiqh muamalah terbagi menjadi dua Yaitu:
                  Ruang lingkup fiqh muamalah yang bersifat adabiyah ialah ijab dan kabul, saling meridahi, tidak ada keterpaksaan dari salh satu pihak, hak dan kawajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.
       Ruang lingkup pembahasan adiniyah ialah masalh jual beli (al- bai’ al-tijarah), gadai (al-rahn), jaminan dan tanggungan ( kafalan dan dlaman ), pemindahn utang ( hiwalah ), jatuh bangkrut (taflis), batas tindakan (al-harju), perseroan dan perkongsian (al-syirkah), perseroan harta dan tenaga  (al-mudharabah), sewa menyewa (al-ijarah), pemberian hak guna pakai  (al- ariyah), barang titipan (al-wadlit’ah), barang temuan (al- luqathah), garapan tanah (al-mujara’ah) sewa menyewa tanah (al-mukhabarah), upah (ujrat al’amal), gugatan (al-syuf’ah), syembara (al-ji’alah), pembagian kekayan bersama (al-qismah), pemberian (al-hibbah), pembebasan (al-ibra), damai (al-shulhu), dan ditambah dengan beberapa masalh mu’ashirah (muhaditsah), seperti masalah bungah bank, asuransi, kredit, dan masalah masalh baru lainnya[9].


Penutup
      Sebagai kesimpulan,  Kata Muamalah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi sama dan semakna dengan al-mufa’alah (saling berbuat). Kata ini menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Sedangkan Fiqh Muamalat secara terminology didefinisikan sebagai hokum-hukum yang berkaitan dengan tindakan hokum manusia dalam persoalan keduniaan.
       Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Sebuah kaidah menyebutkan “Asal dari segala sesuatu adalah halal, sampai ada dalil yang mengharamkannay”.  Dengan demikian, muamalah berdsarkan hukumnya terbagi menjadi dua yaitu: Jenis Muamalah yang hukumnya ditunjuk langsung oleh Nash dengan memberikan batasan tertentu, seperti warisan dan keharaman riba dan Jenis muamalah yang tidak ditunjuk langsung oleh Nash, tetapi diserahkan kepada hasil ijtihad para ulama seperti Ba’I al-Mu’athah.
      Menurut Ibn Abidin, fiqih muamalah dalam arti luas dibagi menjadi lima bagian yaitu: Muawadhah Maliyah (Hukum Perbendaan), Munakahat (Hukum Perkawinan), Muhasanat (Hukum Acara), Amanat dan ‘Aryah (Hukum Pinjaman), Tirkah (Hukum Peninggalan). Sedangkan menurut Al-Fikri dalam kitab Al-Muamalah Al-Madiyah wa Al-Adabiyah membagi Fiqh Muamalah menjadi dua bagian: pertama  Al-Muamalah Al-Madiyah dan yang kedua adalah Al-Muamalah Al-Adabiyah.
      Ruang lingkup fiqih muamalah adalah seluruh kegiatan muamalah manusia berdasarkan hokum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan seperti wajib,sunnah,haram,makruh dan mubah. hokum-hukum fiqih terdiri dari hokum-hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertikal antara manusia dengan Allah dan hubungan horizontzl antara manusia dengan manusia lainnya. Ruang linkup fiqh muamalah terdiri dari dua yaitu fiqh muamalah yang bersifat adabiyah dan adiniyah.



     
     

    


Daftar Pustaka

1.     Masjfuk Zuhdi, Studi Islam jilid III: Muamalah, Jakarta : Rajawali, 1988.
2.     M. Yazid Afandi, M. Ag., Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009.
3.     Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
4.     Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993.
5.     Dr.H.Hendi suhendi, M.Si, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo  Persada, 2007.
7.     www.yosiea.com/religious/29/12/2011.
8.     www.muamalat kontemporer.multiply.com/29/12/2011.





[1] www.manshurzikri.wordpress.com/29/12/2011.
[2] Masjfuk Zuhdi, Studi Islam jilid III: Muamalah, Jakarta : Rajawali, 1988, hal 2-3.
[3] M. Yazid Afandi, M. Ag., Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah,   Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009, hal 2.

[4] www.yosiea.com/religious/29/12/2011.
[5] www.muamalat kontemporer.multiply.com/29/12/2011.
[6] Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hal 18.
[7] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993, hal 75.
[8] Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hal 17.
[9] Dr.H.Hendi suhendi, M.Si, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo  Persada, 2007, hal 5


0 komentar:

Posting Komentar

Fiqh Muamalah



PENDAHULUAN

      Segala puji bagi Allah yang telah menetapkan Islam sebagai agama ummat manusia, menjadikannya agama yang sempurna dan memerintahkan agar tetap berpegeng teguh kepadanya hingga datangnya kematian. Selawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada hambah dan Rasulnya, Muhammad saw, keluarganya dan Sahabat-sahabatnya.
      Islam adalah agama yang komleks dan dinamis, segala hal semua sudah diatur sedemikian rupa, salah satu aturan dalam Islam tersebut telah termaktub dalam ilmu Fiqh Muamalah. Didalamnya mencakup seluruh sisi kehidupan individu dan masyarakat, baik perekonomian, sosial kemasyarakatan, politik bernegara, serta lainnya. Para ulama’ mujtahid dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan yang setelah mereka, tidak henti-hentinya mempelajari semua yang dihadapi kehidupan manusia dari fenomena dan permasalahan tersebut, di atas dasar usul syariat dan kaidah-kaidahnya. Yang bertujuan untuk menjelaskan dan menjawab hukum-hukum permasalahan tersebut supaya dapat dimanfaatkan pada masa-masanya dan setelahnya.
      Berangkat dari sini, sudah menjadi kewajiban setiap muslim dalam kehidupannya untuk mengenal dan mengamalkan hukum-hukum syariat terkait dengan amalan tersebut.      Dikarenakan luasnya pembahasan mengenai muamalah ini, maka perlu kiranya pemakalah membatasi masalah yang akan disampaikan nantinya, secara garis besar batasan masalah pemakalah seputar definisi atau pengertian, kaidah-kaidah, jenis-jenis, pembagian dan ruang lingkup fiqh muamalah.



A.     Definisi Muamalah
         Secara etimologi muamalah berasal dari kata al-Amal yang merupakan istilah yang digunakan untuk mengungkpkan semua perbuatan yang dikehendaki mukallaf. muamalah mengikuti pola mufaalatan yang bermakna bergaul (al-Taamul). Kata ini menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing[1].
                  Secara istilah, Muamalah adalah segala aturan agama yang mengatur hubungan antara sesama manusia, dan antara manusia dan alam sekitarnya,tanpa memandang agama atau asal usul kehidupannya. Aturan agama yang mengatur hubungan antar sesama manusia,  dapat kita temukan dalam hukum Islam tentang perkawinan, perwalian, warisan, wasiat, hibah perdagangan, perburuan, perkoperasian dll. Aturan agama yang mengatur hubungan antara manusia dan lingkungannya dapat kita temukan antara lain dalam hukum Islam tentang makanan, minuman, mata pencaharian, dan cara memperoleh rizki dengan cara yang dihalalkan atau yang diharamkan.
                  Aturan agama yang mengatur hubunagn antara manusia dengan alam sekitarnya dapat kita jumpai seperti larangan mengganggu, merusak dan membinasakan hewan, tumbuhan atau yang lainnya tanpa adanya suatu alasan yang dibenarkan oleh agama, perintah kepada manusia agar mengadakan penelitian dan pemikiran tentang keadaan alam semesta.
                   Dari uraian diatas telah kita ketahui bahwa muamalah mempunyai ruang lingkup yang luas, yang meliputi segala aspek, baik dari bidang agama, politik, ekonomi, pendidikan serta sosial-budaya[2].  Firman Allah dalam surat an Nahl ayat 89:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدىً وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
            Artinya: “ Kami turunkan kepadamu al Qur’an untuk menerangkan segala sesuatu, untuk     petunjuk dan rahmat serta berita gembira bagi orang-orang islam.”(QS.An-Nahl: 89)
                  Dalam ilmu ekonomi Islam, Muamalah  memiliki makna hukum yang berkaitan  dengan harta, hak milik, perjanjian, jual-beli, utang-piutang, sewa-menyewa, dan pinjam-meminjam. Juga hukum yang mengatur keuangan serta segala hal yang merupakan hubungan manusia dengan sesamanya, baik secara individu maupun masyarakat. Tujuannya adalah agar tercapai suatu kehidupan yang tenteram, damai, dan bahagia serta sejahtera[3].


B.       Kaidah-Kaidah Dalam Fiqh Muamalah
      Pada dasarnya, syariat Islam mengandung ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan tentang amaliah atau perbuatan manusia. Perbuatan manusia secara garis besar ada dua, yaitu perbuatan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah Swt. yang disebut ibadah dan hubungan manusia dengan sesamanya dalam pergaulan hidup bermasyarakat yang disebut muamalah.

      Ibadah wajib berpedoman pada sumber ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, yaitu harus ada contoh (tatacara dan praktek) dari Nabi Muhammad saw. Konsep ibadah ini berdasarkan kepada mamnu’ (dilarang atau haram). Ibadah ini antara lain meliputi Zakat, Puasa, Shalat dan Haji. Sedangkan masalah muamalah (hubungan sesama manusia dan hubungan dengan lingkungan), masalah-masalah dunia, seperti makan dan minum, pendidikan, organisasi, dan ilmu pengetahuandan teknologi, berdasarkan pada prinsip boleh (jaiz) selama tidak ada larangan yang tegas dari Allah dan Rasul-Nya. Berkaitan dengan hal ini (muamalah), Nabi Muhammad saw mengatakan:
Kalian lebih mengetahui tentang dunia kalian”.

      Kebanyakan ahli fiqh telah menetapkan kaidah bahwa “hukum asal segala sesuatu dalam bidang material dan hubungan antara sesama manusia (muamalah) adalah boleh, sampai adanya dalil yang menunjukan bahwa sesuatu tersebut dilarang”. Ini berarti bahwa semua hal yang berhubungan dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik larangan maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.

      Sebagi ahli fiqh, al-Syatbi secara filosofis telah merumuskan kaidah bahwa “asal dalam persoalan ibadah bagi mukallaf adalah ta’abbud tanpa perlu melihat kepada nilai atau hikmah, sedangkan asal dalam persoalan muamalah adalah melihat kepada nilai atau hikmah”[4]

C.      Jenis-Jenis Muamalah
1.      Jenis Muamalah yang hukumnya ditunjuk langsung oleh Nash dengan memberikan batasan tertentu. Diantara persoalan tersebut adalah persoalan warisan dan keharaman riba. Hokum-hukum seperti ini bersifat permanen dan tidak dapat diubah dan tidak menerima perubahan.

2.      Jenis muamalah yang tidak ditunjuk langsung oleh Nash, tetapi diserahkan kepada hasil ijtihad para ulama, sesuai dengan kreasi para ahli dalam rangka memenuhi kebutuhan umat manusia sepanjang tempat dan zaman, serta sesuai pula dengan situasi dan kondisi masyarakat itu sendiri. Sebagai contoh adalah Ba’I al-Mu’athah (jual beli dengan saling menyerahkan uang dan mengambil barang tanpa dibarengi dengan ijab dan qabul)[5].

D.     Pembagian Fiqh Muamalah
      Menurut Ibn Abidin, fiqih muamalah dalam arti luas dibagi menjadi lima bagian:
1.      Muawadhah Maliyah (Hukum Perbendaan)
2.      Munakahat (Hukum Perkawinan)
3.      Muhasanat (Hukum Acara)
4.      Amanat dan ‘Aryah (Hukum Pinjaman)
5.      Tirkah (Hukum Peninggalan)
        Dari pembagian diatas, yang merupakan disiplin ilmu tersendiri adalah munakahat dan tirkah. Sedangkan menurut Al-Fikri dalam kitab Al-Muamalah Al-Madiyah wa Al-Adabiyah membagi Fiqh Muamalah menjadi dua bagian:

1.      Al-Muamalah Al-Madiyah
      Al-Muamalah Al-Madiyah adalah muamalah yang mengakaji segi objeknya, yakni benda. Sebagian ulama berpendapat bahwa Al-Muamalah Al-Madiyah bersifat kebendaan, yakni benda yang halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki, diperjual belikan, atau diusahakan, benda yang menimbulkan kemadharatan dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, dll. Semua aktivitas yang berkaitan dengan benda, seperti al- bai’ (jual beli) tidak hanya ditujukan untuk memperoleh keuntungan semata, tetapi jauh lebih dari itu, yakni untuk memperoloh ridha Allah SWT. Jadi kita harus menuruti tata cara jual beli yang telah ditentukan oleh syara’.
      Al-Muamalah Al-Madiyah  mencakup Jual beli (Al-bai’ at-Tijarah), Gadai (rahn), Jaminan/ tanggungan (kafalah), Pemindahan utang (hiwalah), Jatuh bangkit (tafjis), Batas bertindak (al-hajru), Perseroan atau perkongsian (asy-syirkah), Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah), Sewa menyewa tanah (al-musaqah al-mukhabarah), Upah (ujral al-amah), Gugatan (asy-syuf’ah), Sayembara (al-ji’alah), Pembagian kekayaan bersama (al-qisamah), Pemberian (al-hibbah), Pembebasan (al-ibra’), damai (ash-shulhu), beberapa masalah mu’ashirah (mukhadisah), seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah lainnnya[6] Pembagian hasil pertanian (musaqah), Kerjasama dalam perdagangan (muzara’ah), pembelian barang lewat pemesanan (salam/salaf), Pihak penyandang dana meminjamkan uang kepada nasabah/ Pembari modal (qiradh), Pinjaman barang (‘ariyah), Sewa menyewa (al-ijarah), Penitipan barang (wadi’ah).
                 Peluang ijtihad dalam aspek tersebut diatas harus tetap terbuka, agar hukum Islam senantiasa dapat memberi kejelasan normatif kepada masyarakat sebagai pelaku-pelaku ekonomi[7].
2.      Al-Muamalah Al-Adabiyah
      Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah muamalah ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda, yang sumbernya dari pancaindra manusia, sedangkan unsur-unsur penegaknya adalah hak dan kewajiban, seperti jujur, hasut, iri, dendam, dll. Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah aturan-aturan Allah yang ditinjau dari segi subjeknya (pelakunya) yang berkisar pada keridhaan kedua pihak yang melangsungkan akad, ijab kabul, dusta, dll.
            Al-Muamalah Al-Adabiyah. Hal-hal yang termasuk Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah ijab kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta[8].
E.      Ruang Lingkup Fiqh Muamalah
      Ruang lingkup fiqih muamalah adalah seluruh kegiatan muamalah manusia berdasarkan hokum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan seperti wajib,sunnah,haram,makruh dan mubah.hokum-hukum fiqih terdiri dari hokum-hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertical antara manusia dengan Allah dan hubungan horizontal antara  manusia dengan manusia lainnya.
                  Ruang lingkup fiqih muamalah mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti social,ekonomi,politik hokum dan sebagainya. Aspek ekonomi dalam kajian fiqih sering disebut dalam bahasa arab dengan istilah iqtishady, yang artinya adalah suatu cara bagaimana manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan membuat pilihan di antara berbagai pemakaian atas alat pemuas kebutuhan yang ada, sehingga kebutuhan manusia yang tidak terbatas dapat dipenuhi oleh alat pemuas kebutuhan yang terbatas. Ruang linkup fiqh muamalah terbagi menjadi dua Yaitu:
                  Ruang lingkup fiqh muamalah yang bersifat adabiyah ialah ijab dan kabul, saling meridahi, tidak ada keterpaksaan dari salh satu pihak, hak dan kawajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, penimbunan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indra manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.
       Ruang lingkup pembahasan adiniyah ialah masalh jual beli (al- bai’ al-tijarah), gadai (al-rahn), jaminan dan tanggungan ( kafalan dan dlaman ), pemindahn utang ( hiwalah ), jatuh bangkrut (taflis), batas tindakan (al-harju), perseroan dan perkongsian (al-syirkah), perseroan harta dan tenaga  (al-mudharabah), sewa menyewa (al-ijarah), pemberian hak guna pakai  (al- ariyah), barang titipan (al-wadlit’ah), barang temuan (al- luqathah), garapan tanah (al-mujara’ah) sewa menyewa tanah (al-mukhabarah), upah (ujrat al’amal), gugatan (al-syuf’ah), syembara (al-ji’alah), pembagian kekayan bersama (al-qismah), pemberian (al-hibbah), pembebasan (al-ibra), damai (al-shulhu), dan ditambah dengan beberapa masalh mu’ashirah (muhaditsah), seperti masalah bungah bank, asuransi, kredit, dan masalah masalh baru lainnya[9].


Penutup
      Sebagai kesimpulan,  Kata Muamalah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi sama dan semakna dengan al-mufa’alah (saling berbuat). Kata ini menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau beberapa orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. Sedangkan Fiqh Muamalat secara terminology didefinisikan sebagai hokum-hukum yang berkaitan dengan tindakan hokum manusia dalam persoalan keduniaan.
       Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Sebuah kaidah menyebutkan “Asal dari segala sesuatu adalah halal, sampai ada dalil yang mengharamkannay”.  Dengan demikian, muamalah berdsarkan hukumnya terbagi menjadi dua yaitu: Jenis Muamalah yang hukumnya ditunjuk langsung oleh Nash dengan memberikan batasan tertentu, seperti warisan dan keharaman riba dan Jenis muamalah yang tidak ditunjuk langsung oleh Nash, tetapi diserahkan kepada hasil ijtihad para ulama seperti Ba’I al-Mu’athah.
      Menurut Ibn Abidin, fiqih muamalah dalam arti luas dibagi menjadi lima bagian yaitu: Muawadhah Maliyah (Hukum Perbendaan), Munakahat (Hukum Perkawinan), Muhasanat (Hukum Acara), Amanat dan ‘Aryah (Hukum Pinjaman), Tirkah (Hukum Peninggalan). Sedangkan menurut Al-Fikri dalam kitab Al-Muamalah Al-Madiyah wa Al-Adabiyah membagi Fiqh Muamalah menjadi dua bagian: pertama  Al-Muamalah Al-Madiyah dan yang kedua adalah Al-Muamalah Al-Adabiyah.
      Ruang lingkup fiqih muamalah adalah seluruh kegiatan muamalah manusia berdasarkan hokum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan seperti wajib,sunnah,haram,makruh dan mubah. hokum-hukum fiqih terdiri dari hokum-hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertikal antara manusia dengan Allah dan hubungan horizontzl antara manusia dengan manusia lainnya. Ruang linkup fiqh muamalah terdiri dari dua yaitu fiqh muamalah yang bersifat adabiyah dan adiniyah.



     
     

    


Daftar Pustaka

1.     Masjfuk Zuhdi, Studi Islam jilid III: Muamalah, Jakarta : Rajawali, 1988.
2.     M. Yazid Afandi, M. Ag., Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009.
3.     Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
4.     Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993.
5.     Dr.H.Hendi suhendi, M.Si, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo  Persada, 2007.
7.     www.yosiea.com/religious/29/12/2011.
8.     www.muamalat kontemporer.multiply.com/29/12/2011.





[1] www.manshurzikri.wordpress.com/29/12/2011.
[2] Masjfuk Zuhdi, Studi Islam jilid III: Muamalah, Jakarta : Rajawali, 1988, hal 2-3.
[3] M. Yazid Afandi, M. Ag., Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah,   Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009, hal 2.

[4] www.yosiea.com/religious/29/12/2011.
[5] www.muamalat kontemporer.multiply.com/29/12/2011.
[6] Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hal 18.
[7] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993, hal 75.
[8] Rachmad Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hal 17.
[9] Dr.H.Hendi suhendi, M.Si, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo  Persada, 2007, hal 5


 

Blogger news

Blogroll

animasi blog

About