Pages

Senin, 17 Desember 2012

Harapan di Setiap Ibadahku

                                                               Oleh: Jusman as-Sinjayi  
                                                                                                                         
            Tak pernah sekalipun terlintas dalam benakku keinginan untuk menulis, atau merangkai kata-kata untuk dijadikan sebuah tulisan, apalagi berkeinginan menjadi seorang penulis. Namun aku merasa terpanggil untuk mengukir untaiyan kata-kata di atas kertas ini, dikarenakan percakapan dua orang yang sama-sama masbuk siang tadi.

             Mulanya, kedua orang yang masbuk tersebut mendapati Imam dalam keadaan sujud. Orang pertama cepat-cepat  bertakbir kemudian sujud bersama Imam, sedangkan orang kedua memilih tetap berdiri menunggu imam bangkit untuk rakaat berikutnya. Selesai shalat dilaksanakan, orang pertama bertanya “mengapa anda tidak sujud bersama imam..?”, yang kemudian dijawab dengan pertanyaan yang cukup simpel “untuk apa…?”, “percuma…!.

             Mungkin bagi sebagian orang, pertanyaan yang sekaligus jawaban tersebut, tidak perlu dijawab. Karena ia merupakan jawaban, bukan pertanyaan, dan bila kita mencoba mengaitkannya dengan pertanyaan orang pertama tadi,  dapat dikatakan bahwa orang tersebut ingin mengatakan “untuk apa sujud jika kita tidak mendapatkan rakaat tersebut ?”, atau dia ingin mengatakan “apa gunanya sujud yang tidak dihitung ?, bukankah rakaat itu dihitung jika kita mengikuti Imam dari pertama, atau mendapati Imam dalam keadaan ruku’ ?”.

            Awalnya, aku juga tidak mempermasalahkan jawaban tersebut, karena secara sekilas orang tersebut tidak sujud bersama Imam disebabkan dia sudah tidak mendapatkan rakaat tersebut. Dan pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama Salaf (dahulu) dan Khalaf (yang datang kemudian). Demikian juga pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, serta disepakati para pengikut madzhab empat. Hal ini juga diriwayatkan dari para sahabat: Ali, Ibnu Mas’ud, Zaid, dan Ibnu Umar. Pendapat ini juga dirajihkan oleh Imam Ibnu Abdil Barr, Imam Nawawi, Ash Shan’ani, dan lainnya, dan sudah dipastikan kita juga berpegang pada pendapat ini.

              Itulah yang menyebabkan aku tidak berkomentar apa-apa pada saat itu. Namun, setelah sampai di kamar, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati, tiba-tiba saja beberapa pertanyaan  muncul dalam pikiranku, dan pertanyaan-pertanyaan itu membuat dadaku terasa sesak, aku merasa bahwa kebiasaan tersebut merupakan suatu kesalahan yang mesti di tinggalkan.

Sadarkah kita bahwa kebiasaan yang paling sering dilakukan oleh seorang makmum yang masbuk adalah, ketika ia mendapati imam sedang dalam keadaan bukan sedang berdiri, maka si makmum masbuk ini menunggu sampai imam berdiri lagi (untuk menyambung rakaatnya). bukankah ini merupakan sebuah kesalahan yang menyelisihi tuntunan syari’at ?. Seharusnya makmum masbuk mengikuti  keadaan Imam dalam keadaan apapun, apakah itu sedang ruku’, I’tidal, sujud, duduk antara dua sujud, atau duduk tasyahud. Bukankah Rasulullah saw pernah bersabda “jika kalian mendapati Imam dalam keadaan berdiri atau ruku’, atau sujud, atau duduk, maka lakukanlah sebagaimana engkau mendapatinya”.     

             Aku merasa yakin orang-orang juga akan menjawabnya sama, menyelisihi syari’at, bahkan mungkin akan menggunakan hadits yang sama pula, akan tetapi bukan itu yang mendorongku untuk menuliskan tulisan di atas kertas ini, melainkan aku merasa kalau orang tersebut tidak tahu untuk apa dan kepada siapa dia sujud, sehingga dia berani mengatakan untuk apa bersujud jika tidak mendapati rakaat tersebut, bukankah  itu percuma atau sia-sia ?.

             Allah sangat murka terhadap orang-orang yamg bersujud kepada selainnya, karena dialah yang pantas untuk disembah, lantas mengapa harus ragu atau bakhil untuk merundukkan kepala kita sebagai bukti penyembahan kita kepadanya?, sungguh sisa-sisakah sujud kita jika kita menghadiahkannya kepada sang pencipta?, masih adakah yang lebih pantas menerima sujud kita selainnya?.

Memang jika kita mendapati imam dalam keadaan sujud, kita tidak mendapatkan rakaat tersebut, akan tetapi jika kita mengikuti imam bukan berarti kita tidak mendapatkan apa-apa atau perbuatan itu sia-sia, apa bedanya sujud yang dilakukan orang yang masbuq dengan yang tidak ?, bukankah kedua sujud itu sama saja ?, tak ada perbedaannya kecuali yang satu mendapati rakaat tersebut dan yang lain tidak mendapatkannya.

Sangat menghairankan jika masaih ada orang yang menganggap sujud tersebut sia-sia, karena sujud merupakan ibadah, dan Allah swt sangat murka jika suatu ibadah diperuntukkan kepada selainnya, lantas bagaimana jika ibadah tersebut diperuntukkan kepadanya ?, bukankah Ia akan memberikannya ganjaran berupa pahala ?, bukankah mendapatkan pahala merupakan bagian dari harapan pada setiap ibadah kita ?.

 Ketahuilah bahwa keadaan dimana seorang hamba paling dekat dengan tuhannya adalah ketika ia bersujud. Tak sudikah kita memperbanyak do’a ketika kita dekat dengannya?, bukankah setiap kita memiliki harapan ?, mengapa kita tidak memperbanyak sujud agar kita bisa mengajukan semua harapan kita ?, ingatlah sabda Rasulullah saw kepada Rabi’ah bin Kaab  al-Aslami Radhiyallahu’anhu yang meminta agar ia bisa menemani Rasulullah saw  di surga, bukankah ia cuma diminta untuk kepentingannya itu dengan memperbanyak sujud ?, Lantas dimana letak tak bergunanya sujud itu ?.

 Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan inilah yang membuatku agak tegang siang tadi, dan membuatku sibuk mencari dalil-dalil yang terkait dengannya. Setelah merasa cukup barulah aku menuliskannya pada kertas ini, berharap ada yang mau membacanya, bukan untuk pamer, tapi untuk meyakinkan bahwa setiap ibadah yang kita lakukan ada ganjarannya, sehingga aku dan yang membacanya nanti tidak menutup mata terhadap kesempatan-kesempatan yang Allah swt sediakan, dan yang lebih penting adalah aku dan orang-oranng yang membacanya tidak beranggapan sebagaimana anggapan orang yang masbuk siang tadi. 

2 komentar:

Harapan di Setiap Ibadahku

                                                               Oleh: Jusman as-Sinjayi  
                                                                                                                         
            Tak pernah sekalipun terlintas dalam benakku keinginan untuk menulis, atau merangkai kata-kata untuk dijadikan sebuah tulisan, apalagi berkeinginan menjadi seorang penulis. Namun aku merasa terpanggil untuk mengukir untaiyan kata-kata di atas kertas ini, dikarenakan percakapan dua orang yang sama-sama masbuk siang tadi.

             Mulanya, kedua orang yang masbuk tersebut mendapati Imam dalam keadaan sujud. Orang pertama cepat-cepat  bertakbir kemudian sujud bersama Imam, sedangkan orang kedua memilih tetap berdiri menunggu imam bangkit untuk rakaat berikutnya. Selesai shalat dilaksanakan, orang pertama bertanya “mengapa anda tidak sujud bersama imam..?”, yang kemudian dijawab dengan pertanyaan yang cukup simpel “untuk apa…?”, “percuma…!.

             Mungkin bagi sebagian orang, pertanyaan yang sekaligus jawaban tersebut, tidak perlu dijawab. Karena ia merupakan jawaban, bukan pertanyaan, dan bila kita mencoba mengaitkannya dengan pertanyaan orang pertama tadi,  dapat dikatakan bahwa orang tersebut ingin mengatakan “untuk apa sujud jika kita tidak mendapatkan rakaat tersebut ?”, atau dia ingin mengatakan “apa gunanya sujud yang tidak dihitung ?, bukankah rakaat itu dihitung jika kita mengikuti Imam dari pertama, atau mendapati Imam dalam keadaan ruku’ ?”.

            Awalnya, aku juga tidak mempermasalahkan jawaban tersebut, karena secara sekilas orang tersebut tidak sujud bersama Imam disebabkan dia sudah tidak mendapatkan rakaat tersebut. Dan pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama Salaf (dahulu) dan Khalaf (yang datang kemudian). Demikian juga pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, serta disepakati para pengikut madzhab empat. Hal ini juga diriwayatkan dari para sahabat: Ali, Ibnu Mas’ud, Zaid, dan Ibnu Umar. Pendapat ini juga dirajihkan oleh Imam Ibnu Abdil Barr, Imam Nawawi, Ash Shan’ani, dan lainnya, dan sudah dipastikan kita juga berpegang pada pendapat ini.

              Itulah yang menyebabkan aku tidak berkomentar apa-apa pada saat itu. Namun, setelah sampai di kamar, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati, tiba-tiba saja beberapa pertanyaan  muncul dalam pikiranku, dan pertanyaan-pertanyaan itu membuat dadaku terasa sesak, aku merasa bahwa kebiasaan tersebut merupakan suatu kesalahan yang mesti di tinggalkan.

Sadarkah kita bahwa kebiasaan yang paling sering dilakukan oleh seorang makmum yang masbuk adalah, ketika ia mendapati imam sedang dalam keadaan bukan sedang berdiri, maka si makmum masbuk ini menunggu sampai imam berdiri lagi (untuk menyambung rakaatnya). bukankah ini merupakan sebuah kesalahan yang menyelisihi tuntunan syari’at ?. Seharusnya makmum masbuk mengikuti  keadaan Imam dalam keadaan apapun, apakah itu sedang ruku’, I’tidal, sujud, duduk antara dua sujud, atau duduk tasyahud. Bukankah Rasulullah saw pernah bersabda “jika kalian mendapati Imam dalam keadaan berdiri atau ruku’, atau sujud, atau duduk, maka lakukanlah sebagaimana engkau mendapatinya”.     

             Aku merasa yakin orang-orang juga akan menjawabnya sama, menyelisihi syari’at, bahkan mungkin akan menggunakan hadits yang sama pula, akan tetapi bukan itu yang mendorongku untuk menuliskan tulisan di atas kertas ini, melainkan aku merasa kalau orang tersebut tidak tahu untuk apa dan kepada siapa dia sujud, sehingga dia berani mengatakan untuk apa bersujud jika tidak mendapati rakaat tersebut, bukankah  itu percuma atau sia-sia ?.

             Allah sangat murka terhadap orang-orang yamg bersujud kepada selainnya, karena dialah yang pantas untuk disembah, lantas mengapa harus ragu atau bakhil untuk merundukkan kepala kita sebagai bukti penyembahan kita kepadanya?, sungguh sisa-sisakah sujud kita jika kita menghadiahkannya kepada sang pencipta?, masih adakah yang lebih pantas menerima sujud kita selainnya?.

Memang jika kita mendapati imam dalam keadaan sujud, kita tidak mendapatkan rakaat tersebut, akan tetapi jika kita mengikuti imam bukan berarti kita tidak mendapatkan apa-apa atau perbuatan itu sia-sia, apa bedanya sujud yang dilakukan orang yang masbuq dengan yang tidak ?, bukankah kedua sujud itu sama saja ?, tak ada perbedaannya kecuali yang satu mendapati rakaat tersebut dan yang lain tidak mendapatkannya.

Sangat menghairankan jika masaih ada orang yang menganggap sujud tersebut sia-sia, karena sujud merupakan ibadah, dan Allah swt sangat murka jika suatu ibadah diperuntukkan kepada selainnya, lantas bagaimana jika ibadah tersebut diperuntukkan kepadanya ?, bukankah Ia akan memberikannya ganjaran berupa pahala ?, bukankah mendapatkan pahala merupakan bagian dari harapan pada setiap ibadah kita ?.

 Ketahuilah bahwa keadaan dimana seorang hamba paling dekat dengan tuhannya adalah ketika ia bersujud. Tak sudikah kita memperbanyak do’a ketika kita dekat dengannya?, bukankah setiap kita memiliki harapan ?, mengapa kita tidak memperbanyak sujud agar kita bisa mengajukan semua harapan kita ?, ingatlah sabda Rasulullah saw kepada Rabi’ah bin Kaab  al-Aslami Radhiyallahu’anhu yang meminta agar ia bisa menemani Rasulullah saw  di surga, bukankah ia cuma diminta untuk kepentingannya itu dengan memperbanyak sujud ?, Lantas dimana letak tak bergunanya sujud itu ?.

 Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan inilah yang membuatku agak tegang siang tadi, dan membuatku sibuk mencari dalil-dalil yang terkait dengannya. Setelah merasa cukup barulah aku menuliskannya pada kertas ini, berharap ada yang mau membacanya, bukan untuk pamer, tapi untuk meyakinkan bahwa setiap ibadah yang kita lakukan ada ganjarannya, sehingga aku dan yang membacanya nanti tidak menutup mata terhadap kesempatan-kesempatan yang Allah swt sediakan, dan yang lebih penting adalah aku dan orang-oranng yang membacanya tidak beranggapan sebagaimana anggapan orang yang masbuk siang tadi. 
 

Blogger news

Blogroll

animasi blog

About