Tak pernah sekalipun terlintas dalam benakku keinginan untuk menulis, atau merangkai kata-kata
untuk dijadikan sebuah tulisan, apalagi berkeinginan menjadi seorang penulis.
Namun aku merasa terpanggil untuk
mengukir untaiyan kata-kata di atas kertas ini, dikarenakan percakapan dua orang yang sama-sama masbuk siang tadi.
Mulanya, kedua orang yang masbuk tersebut
mendapati Imam dalam keadaan sujud. Orang pertama cepat-cepat bertakbir kemudian sujud bersama Imam,
sedangkan orang kedua memilih tetap berdiri menunggu imam bangkit untuk rakaat
berikutnya. Selesai shalat dilaksanakan, orang pertama bertanya “mengapa anda
tidak sujud bersama imam..?”, yang kemudian
dijawab dengan pertanyaan yang cukup simpel “untuk apa…?”, “percuma…!”.
Mungkin bagi sebagian orang, pertanyaan yang
sekaligus jawaban tersebut, tidak perlu dijawab. Karena ia merupakan jawaban,
bukan pertanyaan, dan bila kita mencoba mengaitkannya dengan pertanyaan orang
pertama tadi, dapat dikatakan bahwa
orang tersebut ingin mengatakan “untuk apa sujud jika kita tidak mendapatkan
rakaat tersebut ?”, atau dia ingin
mengatakan “apa gunanya sujud yang tidak dihitung ?, bukankah rakaat itu dihitung jika kita mengikuti Imam dari pertama,
atau mendapati Imam dalam keadaan ruku’
?”.
Awalnya, aku
juga tidak mempermasalahkan jawaban tersebut, karena secara sekilas orang
tersebut tidak sujud bersama Imam disebabkan dia sudah tidak mendapatkan rakaat
tersebut. Dan pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama Salaf (dahulu) dan
Khalaf (yang datang kemudian). Demikian juga pendapat Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, serta disepakati para pengikut
madzhab empat. Hal ini juga diriwayatkan dari para sahabat: Ali, Ibnu Mas’ud,
Zaid, dan Ibnu Umar. Pendapat ini juga dirajihkan oleh Imam Ibnu Abdil Barr,
Imam Nawawi, Ash Shan’ani, dan lainnya, dan sudah dipastikan kita juga
berpegang pada pendapat ini.
Itulah yang menyebabkan aku tidak berkomentar apa-apa pada saat itu. Namun, setelah sampai di kamar,
aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati, tiba-tiba saja beberapa
pertanyaan muncul dalam pikiranku, dan pertanyaan-pertanyaan
itu membuat dadaku terasa sesak, aku merasa bahwa kebiasaan tersebut merupakan
suatu kesalahan yang mesti di tinggalkan.
Sadarkah kita bahwa kebiasaan yang paling sering dilakukan
oleh seorang makmum yang masbuk adalah, ketika ia mendapati imam sedang dalam
keadaan bukan sedang berdiri, maka si makmum masbuk ini menunggu sampai imam
berdiri lagi (untuk menyambung rakaatnya). bukankah ini merupakan sebuah
kesalahan yang menyelisihi tuntunan syari’at ?. Seharusnya makmum masbuk
mengikuti keadaan Imam dalam keadaan
apapun, apakah itu sedang ruku’, I’tidal, sujud, duduk antara dua sujud, atau
duduk tasyahud. Bukankah Rasulullah saw pernah bersabda “jika kalian mendapati Imam
dalam keadaan berdiri atau ruku’, atau sujud, atau duduk, maka lakukanlah
sebagaimana engkau mendapatinya”.
Aku merasa yakin orang-orang juga akan
menjawabnya sama, menyelisihi syari’at, bahkan mungkin akan menggunakan hadits
yang sama pula, akan tetapi bukan itu yang mendorongku untuk menuliskan tulisan
di atas kertas ini, melainkan aku merasa kalau orang tersebut tidak tahu untuk
apa dan kepada siapa dia sujud, sehingga dia berani mengatakan untuk apa bersujud
jika tidak mendapati rakaat tersebut, bukankah itu percuma atau sia-sia ?.
Allah sangat murka terhadap orang-orang yamg
bersujud kepada selainnya, karena dialah yang pantas untuk disembah, lantas
mengapa harus ragu atau bakhil untuk merundukkan kepala kita sebagai bukti
penyembahan kita kepadanya?, sungguh sisa-sisakah sujud kita jika kita
menghadiahkannya kepada sang pencipta?, masih adakah yang lebih pantas menerima
sujud kita selainnya?.
Memang jika kita mendapati imam dalam keadaan sujud, kita
tidak mendapatkan rakaat tersebut, akan tetapi jika kita mengikuti imam bukan
berarti kita tidak mendapatkan apa-apa atau perbuatan itu sia-sia, apa bedanya
sujud yang dilakukan orang yang masbuq dengan yang tidak ?, bukankah kedua
sujud itu sama saja ?, tak ada perbedaannya kecuali yang satu mendapati rakaat
tersebut dan yang lain tidak mendapatkannya.
Sangat menghairankan jika masaih ada orang yang menganggap
sujud tersebut sia-sia, karena sujud merupakan ibadah, dan Allah swt sangat
murka jika suatu ibadah diperuntukkan kepada selainnya, lantas bagaimana jika
ibadah tersebut diperuntukkan kepadanya ?, bukankah Ia akan memberikannya
ganjaran berupa pahala ?, bukankah mendapatkan pahala merupakan bagian dari harapan
pada setiap ibadah kita ?.
Ketahuilah bahwa
keadaan dimana seorang hamba paling dekat dengan tuhannya adalah ketika ia
bersujud. Tak sudikah kita memperbanyak do’a ketika kita dekat dengannya?, bukankah setiap kita memiliki harapan ?, mengapa kita tidak
memperbanyak sujud agar kita bisa mengajukan semua harapan kita ?, ingatlah
sabda Rasulullah saw kepada Rabi’ah bin Kaab al-Aslami Radhiyallahu’anhu yang meminta agar
ia bisa menemani Rasulullah saw di
surga, bukankah ia cuma diminta untuk kepentingannya itu dengan memperbanyak
sujud ?, Lantas dimana letak tak bergunanya sujud itu ?.
Sebenarnya
pertanyaan-pertanyaan inilah yang membuatku agak tegang siang tadi, dan
membuatku sibuk mencari dalil-dalil yang terkait dengannya. Setelah merasa
cukup barulah aku menuliskannya pada kertas ini, berharap ada yang mau
membacanya, bukan untuk pamer, tapi untuk meyakinkan bahwa setiap ibadah yang
kita lakukan ada ganjarannya, sehingga aku dan yang membacanya nanti tidak
menutup mata terhadap kesempatan-kesempatan yang Allah swt sediakan, dan yang
lebih penting adalah aku dan orang-oranng yang membacanya tidak beranggapan
sebagaimana anggapan orang yang masbuk siang tadi.
Sepi BAnget
BalasHapusbaru gitulah...
Hapus